Lencana Facebook

Sabtu, 23 November 2013

PENTINGNYA PARTISIPASI KEBIJAKAN PUBLIK

Pentingnya Partisipasi Kebijakan Publik
Partisipasi publik atau partisipasi masyarakat dalam penyusunan peraturan daerah merupakan hak masyarakat, yang dapat dilakukan baik dalam tahap penyiapan maupun tahap pembahasan. Dalam konteks hak asasi manusia, setiap hak pada masyarakat menimbulkan kewajiban pada pemerintah, sehingga haruslah jelas pengaturan mengenai kewajiban Pemerintahan Daerah untuk memenuhi hak atas partisipasi masyarakat dalam penyusunan Perda tersebut. Menurut Mahendra Putra Kurnia, titik tolak dari penyusunan suatu peraturan daerah adalah efektivitas dan evisiensinya pada masyarakat. Dengan kata lain, penarapan suatu peraturan daerah harus tepat guna dan berhasil guna, tidak mengatur golongan orang tetentu saja, dengan mengabaikan kepentingan golongan lain yang lebih banyak. Sehingga dalam proses penyusunannya, para pihak yang berkepentingan dan memiliki kaitan langsung ataupun tidak langsung terhadap kebijakan yang hendak diambil harus dilibatkan. Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa konsep partisipasi masyarakat berkaitan dengan konsep keterbukaan. Dalam artian, tanpa keterbukaan pemerintahan tidak mungkin masyarakat dapat melakukan peranserta dalam kegiatan-kegiatan pemerintahan. Selanjutnya dalam konsep demokrasi, asas keterbukaan atau partisipasi merupakan salah satu syarat minimum, sebagaimana dikemukakan oleh Burkens dalam buku yang berjudul Beginselen van de democratische rechsstaat, bahwa:
1. Pada dasarnya setiap orang mempunyai hak yang sama dalam pemilihan yang bebas dan rahasia;
2. Pada dasarnya setiap orang mempunyai hak untuk dipilih;
3. Setiap orang mempunyai hak-hak politik berupa hak atas kebebasan berpendapat dan berkumpul;
4. Badan perwakilan rakyat mempengaruhi pengambilan keputusan melalui sarana (mede) beslissing-recht (hak untuk ikut memutuskan dan atau melalui wewenang pengawas;
5. Asas keterbukaan dalam pengambilan keputusan dan sifat keputusan yang terbuka;
6. Dihormatinya hak-hak kaum minoritas.
Asas keterbukaan sebagai salah satu syarat minimum dari demokrasi terungkap pula dalam pendapat Couwenberg dan Sri Soemantri Mertosoewignjo. Menurut S.W. Couwenberg, 5 (lima) asas demokratis yang melandasi rechtsstaat, 2 (dua) diantaranya adalah asas pertanggungjawaban dan asas publik (openbaarheidsbeginsel), yang lainnya adalah asas hak-hak politik, asas mayoritas, dan asas perwakilan. Senada dengan itu, Sri Soemantri mengemukakan bahwa ide demokrasi menjelmakan dirinya dalam 5 (lima) hal, 2 (dua) diantaranya adalah pemerintah harus bersikap terbuka (openbaarheid van bestuur) dan dimungkinkannya rakyat yang berkepentingan menyampaikan keluhannya mengenai tindakan-tindakan penjabat yang dianggap merugikan. Tampak jelas bahwa dalam paham demokrasi terdapat asas keterbukaan, yang berkaitan dengan asas partisipasi masyarakat, sebagaimana pula dikemukakan oleh Franz Magnis-Suseno:
“Paham demokrasi atau kedaulatan rakyat mengandung makna, pemerintahan negara tetap di bawah kontrol masyarakat. Kontrol ini melalui 2 (dua) sarana: secara langsung melalui pemilihan para wakil rakyat dan secara tidak langsung melalui keterbukaan (publicity) pengambilan keputusan. Pertama, pemilihan wakil rakyat berkonsekuensi pada adanya pertanggungjawaban. Karena, jika partai-partai mau terpilih kembali dalam pemilihan berikut, mereka tidak dapat begitu saja mempermainkan kepercayaan para pendukung mereka, sehingga harus mempertanggungjawabkannya. Kedua, keterbukaan pengambilan keputusan merupakan suatu keharusan. Karena pemerintah bertindak demi dan atas nama seluruh masyarakat, maka seluruh masyarakat berhak untuk mengetahui apa yang dilakukannya. Bukan saja berhak mengetahui, juga berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan”.
Selanjutnya Ann Seidman, Robert B. Seidman, dan Nalin Abeyserkere memaknai partisipasi sebagai berikut: bahwa pihak-pihak yang dipengaruhi oleh suatu keputusan yang ditetapkan the stakeholders (pihak yang mempunyai kepentingan) memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan, kritik dan mengambil bagian dalam pembuatan keputusan-keputusan pemerintahan. Pengertian partisipasi tersebut tidak jauh berbeda dengan pengertian partisipasi politik yang diberikan oleh Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam Miriam Budiardjo, yaitu bahwa partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Pengertian partisipasi politik sebagai kegiatan warga negara terlibat dalam proses pengambilan keputusan, dalam kepustakaan kebijakan publik di Belanda disebut inspraak atau partisipasi politik langsung. Ciri terpenting dari partisipasi politik langsung adalah tidak melalui proses perwakilan, melainkan warga negara berhubungan langsung dengan para pengambil keputusan. Dikaitkan dengan pendapat Herbert Mc Closky, bahwa partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan publik.



Tujuan dasar dari peran serta masyarakat adalah untuk menghasilkan masukan dan presepsi yang berguna dari warga negara dan masyarakat yang berkepentingan (public interest) dalam rangka meningkatkan kualitas pengambilan keputusan, karena dengan melibatkan masyarakat yang potensial terkena dampak akibat kebijakan dan kelompok kepentingan (interest group), para pengambil keputusan dapat menangkap pandangan, kebutuhan dan pengharapan dari masyarakat dan kelompok tersebut, untuk kemudian menuangkannya kedalam suatu konsep. Pandangan dan reaksi masyarakat itu, sebaliknya akan menolong pengambil keputusan (stakeholder) untuk menentukan prioritas, kepentingan dan arah yang pasti dari berbagai faktor. Selain itu, partisipasi publik juga merupakan pemenuhan terhadap etika politik yang menempatkan rakyat sebagai sumber kekuasaan dan kedaulatan. Menurut Sad Dian Utomo dalam Indra J. Piliang, manfaat partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik, termasuk dalam pembuatan peraturan daerah adalah:
1. Memberikan landasan yang lebih baik untuk pembuatan kebijakan publik;
2. Memastikan adanya implementasi yang lebih efektif karena warga mengetahui dan terlibat dalam pembuatan kebijakan publik;
3. Meningkatkan kepercayaan warga kepada eksekutif dan legislatif;
4. Efisiensi sumber daya, sebab dengan keterlibatan masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik dan mengetahui kebijakan publik, maka sumber daya yang digunakan dalam sosialisasi kebijakan publik dapat dihemat.
Dari penjelasan tersebut diatas jelas menunjukan bahwa dalam proses pengambilan keputusan, termasuk pengambilan keputusan dalam bentuk peraturan daerah, terdapat hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses penyusunan peraturan daerah, yakni memberi masukan secara lisan atau tertulis dalam persiapan maupun pembahasan rancangan peraturan daerah.
Konsep partisipasi sebenarnya bukan merupakan sesuatu yang baru dalam praktik-praktik pembangunan di Indonesia, karena konsep ini sudah banyak digunakan terutama sejak orde baru. Pada saat itu kita mengenal dengan istilah bottom up approach sebagai jargon utama dalam proses perencanaan pembangunan. Praktiknya terutama bias ditemukan dalam rapat-rapat perencanaan pembangun di semua level pemerintahan, yang “seolah-olah” menerapkan prinsip partisipasi. Pada saat itu lembaga seperti LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa) menjadi ikon partisipasi di tingkat bawah, meskipun dalam pratiknya lebih banyak didominasi elit desa.

Perubahan politik di tahun 1998 menjadi tonggak perubahan dalam tata pemerintahan di Indonesia, mulai dari perubahan rezim hingga banyak aturan-aturan baru yang pada era sebelumnya sangat sulit untuk berubah. Salah satu contoh yang paling konkrit adalah keluarnya paket undang-undang pemerintahan daerah, yang kemudian menjadi arah baru pelaksanaan desentralisasi di Indonesia. Aturan-aturan baru ini cukup berdampak luas, terutama dalam arah hubungan pusat—daerah dan pemerintah-masyarakat di tingkat lokal. Berangkat dari realitas ini konsep partisipasi kembali mendapatkan tempat sebagai mainstream baru yang merepresentasikan perubahan dalam proses-proses perencanaan pembangunan.

Secara umum partisipasi bisa dipahami dalam dua pandangan utama yaitu perspektif teori pluralisme dan demokrasi langsung. Dalam perspektif pertama, konsep partisipasi lebih difokuskan pada representasi kepentingan, terutama melalui kelompok-kelompok kepentingan dan struktur politik lainnya. Sementara untuk yang kedua, partisipasi merupakan sebuah bentuk keterlibatan dan pengaruh langsung individu atas pengambilan sebuah keputusan (Mayer, 1997;9).
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik, baik penyediaan barang dan jasa maupun regulasi, sangat diperlukan. Hal ini untuk menjamin bahwa kebijakan yang disusun akan mengakomodir kepentingan masyarakat serta tidak akan merugikan. Usaha untuk mempengaruhi kebijakan publik daerah agar lebih berpihak pada masyarakat telah diusahakan oleh banyak pihak. Salah satu diantaranya usaha-usaha tersebut adalah melalui advokasi untuk mereformasi regulasi daerah. Dengan adanya advokasi ditingkat regulasi daerah diharapkan adanya pelembagaan kebijakan publik yang pro-rakyat. Namun usaha untuk mereformasi regulasi didaerah pun masih menghadapi banyak kendala. Seperti misalnya kapasitas jejaringan, pengetahuan hukum, keterbatasan pengetahuan akan substansi yang diadvokasi, dan lain-lain. Kendala terbesar yang dihadapi sampai saat ini adalah belum jelasnya ruang/prosedur yang memungkinkan adanya partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah.

Partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah saat ini masih harus mengadalkan “kesadaran dan kebaikan hati” para birokrat pemerintahan dan anggota DPRD. Advokasi kebijakan publik yang lebih pro-rakyat melalui penyusunan paraturan daerah saat ini baru dapat dilakukan secara tidak langsung. Partisipasi masyarakat baru dapat dilakukan sebatas mengajukan usulan punyusunan peraturan daerah (tentu saja untuk substansi tertentu) pada aparat pemerintahan atau anggota DPRD. Setelah itu sulit bagi masyarakat untuk melihat apakah usulannya diterima atau tidak. Kalau usulan penyusunan peraturan daerah tersebut diterima dan ditindaklanjuti oleh aparat pemerintah atau anggota DPRD, dari proses penyusunan sampai legislasi dan pengesahan peraturan daerah, masyarakat tetap tidak dapat mengontrol substansi yang diusung dalam peraturan daerah tersebut. Ketiadaan ruang yang jelas bagi partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah tentu saja akan memperbesar resiko adanya penyimpangan dalam substansi yang diusulkan.

Dalam proses peyusunan peraturan perundang-undangan (peratuan daerah/perda) yang dilakukan secara partisipatif tersebut, masyarakat dapat terlibat mulai dari penelitian dan penyusunan naskah akademik, sampai dalam proses legislasi di DPRD. Lebih dari itu tidak memungkinkan lagi bagi masyarakat untuk terlibat. Tahap terakhir dari proses legislasi tersebut adalah black box, yaitu proses pengajuan draf ranperda untuk dibahas dalam sidang paripurna sampai penulisannya dalam lembaran daerah. Pada tahap ini proses bersifat politis dan sangat menentukan nasib dari peraturan yang diajukan tersebut.
Pada setiap tahap legislasi sangat berpotensi untuk terjadinya penyimpangan substansi perda. Penyimpang substansi ini terkait dengan kepentingan stakeholder yang berbeda terhadap peraturan yang sedang disusun, baik yang pro maupun yang kontra. Namun dengan ketelitian, argumentasi dan pendekatan yang baik dan rasional pada saat pembahasan, biasanya penyimpang tersebut dapat dihalangi dan dikembalikan pada substansi yang benar.

Secara prosedur formal, seluruh proses penyusunan produk hukum daerah adalah black box bagi masyarakat yang ingin mengusulkan atau berpartisipasi dalam penyusunan suatu produk hukum daerah. Masyarakat dapat memberikan usulan untuk penyusunan produk hukum daerah secara formal dengan mengusulkannya melalui Unit Kerja (SKPD) terkait di pemerintah daerah atau melalui DPRD. Dari pengalam yang ada, mengusulkan penyusunan produk hukum daerah melalui DPRD adalah jalan yang paling pendek dan tidak rumit. Yang diperlukan adalah kemampuan untuk meyakinkan anggota DPRD untuk mengakomodasi mereka.
Bila ada kesempatan bagi masyarakat untuk mengikuti proses pembahasan dalam proses penyusunn produk hukum daerah, sudah selayaknya kesempatan tersebut dimanfaatkan sebaik-baiknya. Hal ini karena stakeholder lain yang kontra, yang mempunyai konflik kepentingan dengan kepentingan masyarakat umum, yang ingin memanfaatkannya hanya untuk kepentingan kelompok atau pribadinya saja, mereka pun akan terus berjuang untuk memasukan agenda atau kepentingan mereka dalam produk hukum yang sedang disusun. Bahkan perjuangan mereka tidak akan berhenti sampai akhir pembahasan saja, kalau memungkinkan mereka akan berusaha untuk mempengaruhi anggota DPRD untuk mengakomodasi kepentingan mereka. Untuk itu perjuangan masyarakat dalam proses penyusunan produk hukum daerah tidak boleh berhenti begitu saja setelah diusulkan atau selesai dibahas di Panmus DPRD. Sudah seharusnya mereka pun mencoba untuk menitipkan agenda mereka pada anggota DPRD, bekerjasama dengan mereka, dan memberikan pengertian. Diharapkan ketika tahap penyusunan produk hukum memasuki black box, masyarakat yang mengusulkan tidak perlu khawatir karena di dalam black box tersebut ada anggota DPRD yang berjuangan untuk kepentingannya.
Oleh sebab itu pentingnya partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah harus mempunyai kapasitas pengetahuan yang cukup untuk menyusun, membahas, memperbaiki dan mempertahankan substansi yang ingin diatur. Untuk itu bagi mereka yang terlibat dalam penyusunan produk hukum baik itu pemerintah, anggota DPRD maupun masyarakat haru memiliki capacity building yang memadai tentang peraturan perundang-undangan. Hal lain yang perlu menjadi perhatian pemerintah adalah menyediakan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyusunan produk hukum daerah, partisipasi masyarakat akan lebih sangat penting apabila partisipasi tersebut diatur dalam suatu peraturan daerah, sehingga adanya jaminan dari pemerintah dan lebih sistematis partisipasi yang mereka bangun.




Dampak Negatif Akibat Warga Negara Tidak Aktif Berpartisipasi Dalam Kebijakan Publik
Di era otonomi daerah seperti sekarang, pemerintah memberi peluang yang sangat besar kepada masyarakat untuk berpartisipasi. Segala aspirasi masyarakat yang tumbuh dan berkembang ditengah tengah kehidupan masyarakat dapat ditampung didaerah. Oleh karena itu pemerintah harus memberikan masukan dan seluruh lapisan masyarakat menangapinya.
Mengapa demikian ? karena masyarakatlah yang lebih tahu apa yang menjadi kebutuhan dan keinginan mereka dalam kehidupan sehari hari. Dengan keaktifan masyarakat, diharapkan akan muncul kebijakan publik yang dapat :
1.      Melindungi, mengayomi, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
2.      Selaras dengan kebutuhan dan harapan masyarakat.
Sebaliknya, apabila masyarakat tidak aktif, akan muncul dampak negatif yang dapat merugikan masyarakat, antara lain ;
1.      Perumusan kebijakan public di daerah tidak memenuhi hak hak rakyat secara menyeluruh
2.      Kebijakan publik itu bisa jadi tidak sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat
3.      Kebijakan publik itu bisa tidak sejalan atau bahkan bertentangan dengan nilai nilai budaya masyarakat.
Kebijakan public harus sejalan dengan kebutuhan pembangunan di daerahnya. Masyarakat mengharapkan kebijakan publik yang mewajibi kepentingannya. Janganlah kebijakan publik itu justru menjadikan pemimpin daerahmenjadi raja raja kecil di daerahnya. Mengapa demikian ?, karena dengan menjadi raja raja kecil, mereka sangat dihormati, disanjung, diberi upeti, dan ditakuti oleh warga dan bawahannya.
Selain aktif dalam pembuatan kebijakan publik, masyarakat juga diharapkan supaya aktif dalam penerapan kebijakan publik itu. Masyarakat dapat berperan dalam kebijakan publik tersebut dan juga sebagai pengawas. Contoh paling sederhana keikutsertaan masyarakat dalam melaksanakan kebijakan publik sebagai berikut ini. Ketika Pemda mengeluarkan peraturan agar masyarakat tidak membuang sampah di sungai masyarakat harus mematuhinya. Saat Pemda melarang Pembangunan rumah di aliran sungai, masyarakat mematuhinya pula. Sedangkan contoh masyarakat bertindak sebagai pengawas dapat dilihat dari kasus para warga masyarakat mengawasi proyek pembangunan jalan raya atau fasilitas umum yang dilakukan pemerintah daerah atau DPRD. Berbagai macam bentuk penyimpangan perilaku terhadap per aturan atau kebijakan publik tersebut tentunya dapat menimbulkan peng a ruh negatif. Pengaruh negatif tersebut bergantung pada tingkatan partisipasinya, antara lain sebagai berikut.

A. Tidak Berperan Dalam Perencanaan Kebijakan
Jika masyarakat tidak ikut aktif dalam perencanaan kebijakan, pemerintah pusat atau daerah tidak akan mengetahui apa yang sebenarnya dibutuhkan rakyat. Mungkin saja karena masyarakat nya pasif maka kebijakan yang disusun bertentangan dengan kondisi yang terjadi di masyarakat.

B. Tidak Berperan Dalam Pelaksanaan Kebijakan
Kebijakan publik yang dibuat sebaik apapun akan menjadi hiasan belaka jika tidak dilaksanakan oleh seluruh komponen masya rakat. Contohnya seperti peraturan yang mengatur “trotoar” hanya untuk pejalan kaki tidak akan terwujud jika tidak dipatuhi oleh masyarakat. Dengan demikian, kota menjadi tidak tertib, tidak nyaman, dan sulit terwujud kota yang indah.

C. Tidak Berperan Dalam Mengawasi Pelaksanaan Kebijakan Publik
Pelaksanaan kebijakan publik yang tidak diawasi oleh masyarakat tentunya akan merugikan masyarakat itu sendiri. Contohnya, per aturan daerah yang melarang perjudian. Jika tidak didukung dan diawasi pelaksanaan pelarangannya, perjudian akan tetap marak di masyarakat.
Tentunya sekali lagi kita sebagai warga masyarakat harus terus aktif berperan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kebijakan publik. Hal ini akan berdampak pada terciptanya kondisi masyarakat yang sadar politik, sadar hukum, bermoral, dan suk sesnya pembangunan nasional.


0 komentar:

Posting Komentar