Biografi sebagai penginjil
Ludwig Ingwer Nommensen (di daerah Batak dikenal sebagai Ingwer
Ludwig Nommensen atau I.L. Nommensen; lahir diNordstrand, Denmark (kini Jerman), 6 Februari 1834 – meninggal di Sigumpar, Toba
Samosir, 23 Mei 1918 pada umur 84 tahun) adalah
seorang penyebar agama Kristen Protestan di antara suku Batak, Sumatera Utara. yang berasal dari Jerman, tetapi lebih dikenal diIndonesia. Hasil dari pekerjaannya ialah
berdirinya sebuah gereja terbesar di tengah-tengah suku bangsa Batak Toba
yaitu Huria Kristen Batak
Protestan (HKBP).
Nommmensen adalah manusia biasa dengan tekad luar biasa.
Perjuangan pendeta itu untuk melepaskan animisme dan keterbelakangan dari
peradaban Batak patut mendapatkan penghormatan.
Masa kecil
Nommensen berasal dari Pulau
Noordstrand di Schleswig, yang pada waktu itu merupakan
wilayah Denmark. Keluarganya hidup dalam kemiskinan dan penderitaan, sehingga
sejak kecil, Nommensen terbiasa hidup dalam kondisi yang demikian. Maka
dari itu, sejak kecil, ia sudah mencari nafkah untuk membantu
orangtuanya Ketika berumur 7 tahun, Nommensen memilih menggembalakan angsa
daripada duduk di bangku sekolah. Pada umur 8 tahun, ia mulai mencari
nafkah untuk membantu orang tuanya dengan cara menggembalakan domba. Pada usia
9 tahun, ia belajar menjadi tukang atap. Lalu, pada usia 10 tahun,
ia bekerja pada seorang petani yang kaya sambil belajar mengerjakan
tanah. Ia juga bekerja menuntun kuda yang menarik bajak untuk membajak
tanah petani kaya tersebut.
Pada tahun 1846, saat berusia 12 tahun, Nommensen
mengalami kecelakaan. Sewaktu ia bermain kejar-kejaran dengan temannya, ia
ditabrak kereta kuda yang menggilas kakinya sampai patah dan keadaan yang
demikian memaksanya berbaring di tempat tidur berbulan-bulan lamanya Waktu
itu, dalam doanya, Nommensen meminta kesembuhan dan berjanji, jika ia
disembuhkan, maka ia akan memberitakan injil kepada orang
kafir. Setelah kakinya sembuh, Nommensen kembali menjadi buruh tani untuk
membantu keluarganya setelah kematian ayahnya.
Pendidikan
dan misi
Pada usia 20 tahun, Nommensen
berangkat ke Barmen (sekarang Wuppertal) untuk melamar menjadi
penginjil. Selama empat tahun ia belajar di seminari zending LutheranRheinische
Missionsgesellschaft (RMG). Sesudah lulus, ia kemudian ditahbiskan
menjadi pendeta pada tahun 1861. Ia ditugaskan oleh RMG ke
Sumatra dan tiba pada tanggal 14 Mei 1862 di Padang. Ia memulai misinya di Barus dengan harapan akan
mendapatkan izin untuk menetap di daerah Toba. Namun, pemerintah kolonial
tidak mengizinkan dengan alasan keamanan. Oleh sebab itu, ia bergabung
dengan penginjil-penginjil lain yaitu Misionaris Pdt. Heyni dan Pdt.
Klammer yang telah berada di daerahSipirok yang setelah Perang Padri dimasukkan dalam wilayah Hindia-Belanda. Di situ, sebagian dari
penduduk sudah memeluk agama Islam sehingga kemajuannya
lambat. Setelah berdiskusi dengan kedua misionaris ini, disepakati
pembagian wilayah pelayanan, bahwa Nommensen akan bekerja di Silindung.
Kunjungan pertama ke Tarutung dilakukan pada 11 November
1863. Pada kunjungan pertama ini, Nommensen diterima oleh Ompu Pasang (Ompu
Tunggul) kemudian tinggal di rumahnya yang daerahnya masuk dalam kekuasaan Raja
Pontas Lumban Tobing. Dari sini Nommensen kemudian kembali ke Sipirok untuk mempersiapkan segala
sesuatunya yang diperlukan dalam pelayanannya.
Pada pertengahan tahun
berikutnya, 1864, Nommensen dengan membawa semua
perlengkapannya berangkat kembali ke Tarutung, dan tiba di Tarutung pada
tanggal 7 Mei1864. Nommensen kembali ke rumah
Ompu Pasang (Ompu Tunggul), tetapi dia ditolak. Di Onan Sitahuru, Nomensen
duduk dan merenung di bawah sebatang pohon beringin (hariara) untuk memikirkan
apa yang akan dia perbuat. Nommensen lalu pergi ke desa lain dan sampai ke di
desa Raja Aman Dari Lumban Tobing. Nommensen berharap Raja Aman Dari
Lumbantobing dapat mengijinkannya tinggal di atas lumbung padinya. Akan tetapi
Raja Aman Lumbantobing sedang pergi kedesa lain membawa isterinya yang sedang
sakit keras. Melalui seorang utusan, Nommensen menyampaikan niatnya ini kepada
Raja Aman Lumbantobing, akan tetapi Raja Aman Lumbantobing menolak. Nommensen
kemudian meminta utusannya ini untuk kembali menemui Raja Aman Lumbantobing
untuk kedua kalinya dengan pesan, “bahwa sekembalinya Raja Aman ke desanya,
penyakit istrinya akan hilang”. Raja Aman kemudian berkata, apabila perkataan
Nomensen itu benar, maka dia akan mengizinkan Nomensen tinggal dirumahnya.
Penyakit istri Raja Aman sembuh. Raja Aman Lumbantobing kemudian mengizinkan
Nomensen tinggal di rumahnya.
Akan tetapi, pada mulanya Raja Pontas Lumban Tobing tidak mau menerima Nommensen.
Dia berusaha memengaruhi Raja-Raja di Silindung supaya menolak Nommensen.
Sebaliknya, Raja Aman Dari Lumban Tobing, juga berusaha memengaruhi Raja-Raja
di Silindung untuk menerimanya. Sehingga masyarakat di sekitar Silindung
terbagi dua dalam hal penerimaan terhadap Nommensen. Walaupun masyarakat
Silindung terbagi dua (ada yang menerima dan ada yang menolak Nommensen),
Nommensen tetap berada di Tarutung dan memulai pelayanannya mengabarkan Injil.
Satu tahun kemudian, 27 Agustus
1865, Nommensen dapat melakukan pembabtisan pertama kepada satu orang Batak.
Bahkan di kemudian hari, Raja Pontas Lumban Tobing yang dulunya menolak
Nommensen, meminta supaya dia dan keluarganya dibaptis. Pada saat itu juga Raja
Pontas meminta supaya Nommensen pindah dari Huta Dame ke Pearaja. Setelah
Raja Pontas dan keluarganya masuk Kristen, masyarakat Silindung makin banyak
masuk Kristen.
Sejalan dengan pertumbuhan Gereja di
Silindung, Nommensen membuka Sekolah Guru di Pansur Napitu. Lulusan sekolah ini
dijadikan menjadi guru Injil dan Guru Sekolah. Di kemudian hari, sekolah
ini dipindahkan ke Sipaholon. Kemudian, Nommensen membuka pos Penginjilan baru
di Sigumpar. Dari sanalah beliau menyebarkan Injil bersama para pembantunya ke
seluruh Toba Holbung dan Samosir.
Ketika diberi izin oleh pemerintah
kolonial, maka RMG menunjuk Nommensen untuk membuka pos zending baru di Silindung. Kehadiran zending ditantang
oleh sebagian rajadan juga oleh sebagian besar
penduduk karena mereka takut akan terkena bencana jika menyambut seorang asing yang tidak memelihara adat. Selain itu, sikap menolak
para raja disebabkan pula oleh kekhawatiran bahwa dengan kedatangan orang-orang
kulit putih ini menjadi perintis jalan bagi pemerintahan Belanda yang berkuasa pada waktu itu.
Sekalipun demikian, Nommensen berhasil mengumpulkan jemaatnya yang pertama
di Huta
Dame (terjemahan
dari Yerusalem - Kampung Damai). Pada tahun 1873, ia mendirikan gedung gereja,
sekolah, dan rumahnya di Pearaja dan hingga kini, Pearaja tetap menjadi
pusat Gereja HKBP.
Para Raja di Tanah Batak, 1890
Karena kehadiran para misionaris tidak disetujui oleh sebagian
raja, terutama oleh mereka yang berpihak pada Sisingamangaraja XII, maka
pada bulan Januari
1878, Singamangaraja sebagai raja yang, menurut
pengakuannya sendiri, memiliki kedaulatan atas Silindung, memberi ultimatum kepada para
zendeling RMG untuk segera meninggalkan Silindung. Pada akhir Januari,
Nommensen meminta kepada pemerintah kolonial Belanda untuk mengirim
tentara untuk segera menaklukkan Tanah Batak yang pada saat itu masih
merdeka. Pada awal tahun 1878, pasukan pertama di bawah pimpinan
Kapten Scheltens bersama dengan Kontrolir Hoevell menuju Pearaja dan disambut
oleh Nommensen. Antara Februari hingga Maret, 380 pasukan tambahan dan 100
narapidana didatangkan dari Sibolga.Februari
1878,
ekspedisi militer untuk menumpaskan pasukan Singamangaraja
dimulai. Penginjil Nommensen dan Simoneit mendampingi pasukan Belanda
selama ekspedisi militer yang dikenal sebagai Perang Toba I. Keduanya
menjadi penunjuk jalan dan penerjemah, serta malah dianggap ikut berperan dalam
menentukan kampung-kampung mana yang akan dibakar. Sesudah ekspedisi militer
berakhir, puluhan kampung, termasuk markas Singamangaraja di Bangkara
dibumihanguskan. Atas jasa membantu pemerintah Belanda, pada 27
Desember 1878, Nommensen dan Simoneit menerima surat penghargaan dari
pemerintah Belanda, ditambah uang tunai sebanyak 1000 gulden.
Setelah Silindung dan Toba
ditaklukkan dalam Perang
Toba I, Batakmission (zending Batak) mengalami
kemajuan dengan pesat, khususnya di daerah Utara. Nommensen berhasil
meyakinkan ratusan raja untuk berhenti mengadakan perlawanan. Tentunya,
hal ini dapat terjadi setelah Nomensen meyakinkan kembali masyarakat bahwa ia
bukan kaki tangan Belanda dan kedatangannya untuk membawa kebaikan. Hal
ini nampak dalam tindakan keseharian Nommensen bagi orang-orang Batak waktu
itu. Contoh beberapa raja yang akhirnya bersikap positif ialah Raja Pontas
Lumbantobing (Sipahutar), Ompu Hatobung (di Pansur Napitu), Kali Bonar (di Pahae), Ompu Batu
Tahan (diBalige), dan lainnya. Pada
tahun 1881, Nommensen memindahkan tempat
tinggalnya ke kampung Sigumpar, dan ia tinggal di sana sampai
akhir hayatnya. Pada tahun kematiannya, Batakmission (cikal bakal Huria Kristen Batak
Protestan (HKBP)
mencatat jumlah orang Batak yang dibaptis telah mencapai 180.000 orang.
kompleks zending di Pearaja beserta
dengan sekolah, gereja, dan rumah sakit
Untuk menjaga tatanan hidup dari
ribuan orang yang baru masuk menjadi Kristen, Nommensen menyediakan bagi mereka
suatu tatanan yang baru. Pada tahun 1866, ditetapkanlah sebuah Aturan
Jemaat. Aturan itu meliputi kehidupan orang Kristen di dalam jemaat maupun
dalam lingkungan keluarga menyangkut ibadah, perkawinan, hukum, dan pejabat
gerejawi. Di samping itu, Nommensen menerjemahkan kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Batak. Ia menerbitkan cerita-cerita
Batak dan menerbitkan cerita-cerita PL. Ia juga berusaha untuk memperbaiki
pertanian, peternakan, meminjamkan modal, dan menebus hamba-hamba dari
tuannya. Jasa Nommensen juga dikenang oleh orang Batak antara lain karena
usahanya di bidang pendidikan dengan membuka sekolah penginjil yang
menghasilkan penginjil-penginjil Batak pribumi. Demikian juga untuk memenuhi
kebutuhan guru di sekolah, RMG bersama Nommensen membuka pendidikan guru.
Karena
kecakapan dan jasa-jasanya dalam pekerjaan penginjilan, maka pimpinan RMG, pada
tahun 1881,mengangkat Nommensen sebagai Ephorus. Jabatan ini diembannya sampai
akhir hidupnya. Di hari ulang tahunnya yang ke-70, Nommensen mendapat
gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Bonn. Pada tahun 1911, ia memperoleh penghargaan Kerajaan
Belanda dengan diangkat sebagai Officer Ordo Oranye-Nassau. Ia pun akhirnya mendapat gelar
sebagai Rasul Orang Batak.
Sejarah Singkat Tentang
I. L Nommensen Di Tanah Batak
Hidup atau mati biarlah aku tinggal di tengah-tengah bangsa ini
untuk menyebarkan firman dan kerajaan-Mu. Amin”
(Dr. Ingwer Ludwig Nommensen)
(Dr. Ingwer Ludwig Nommensen)
Berbicara tentang peradaban Batak, barangkali akan lain ceritanya
jika Dr. Ingwer Ludwig Nommensen tidak pernah menginjakkan kakinya di Tanah
Batak. Siapakah dia dan mengapa ia dijuluki sebagai “Apostel Batak”?
suatu kali dalam sidang zending di Barmen, ketika utusan Denmark dan
Jerman mengklaim bahwa Nommensen adalah warga negara mereka, Pendeta Dr. Justin
Sihombing yang hadir waktu itu justru bersikeras mengatakan bahwa Nommensen
adalah orang Batak.
Nommensen muda, ketika genap berusia 28 tahun telah hijrah meninggalkan Nordstrand dan hidup di Tanah Batak hingga akhir hayatnya dalam usia 84 tahun.
Nommensen muda, ketika genap berusia 28 tahun telah hijrah meninggalkan Nordstrand dan hidup di Tanah Batak hingga akhir hayatnya dalam usia 84 tahun.
Masa mudanya, ia lewati dengan menjalani pendidikan teologia
(1857-1861) di Rheinische Missions-Gesselscha ft (RMG) Barmen, setelah menerima
sidi pada hari Minggu Palmarum 1849, ketika berusia 15 tahun.
Sebenarnya, kedatangan penginjil-penginjil Eropa ke Tanah Batak pun
sudah dimulai sejak 1820-an. Pada 1824 Gereja Baptis Inggris mengirimkan dua
penginjil: Pendeta Burton Ward dan Pendeta Evans yang terlebih dahulu tiba di
Batavia. Pendeta Evans menginjil di Tapanuli Selatan, Pendeta Burton Ward di
wilayah Silindung. Sayangnya, mereka ditolak. Animesme masih kuat dalam
kehidupan suku Batak.
Sepuluh tahun kemudian, dua penginjil Amerika: Samuel Munson dan
Henry Lyman pun tiba di Silindung. Tapi, mereka malah mendapati ajalnya di sana
setelah dibunuh oleh sekelompok orang di Saksak Lobu Pining, sekitar Tarutung.
Pembunuhan dilakukan atas perintah Raja Panggalamei. Kedua missionaris dimakamkan
di Lobu Pining, sekitar 20 kilometer dari Kota Tarutung, menuju arah Kota
Sibolga.
Impian Nommensen untuk menjadi penginjil sudah muncul sejak kecil,
meski pada pada masa-masa itu ia sudah terbiasa hidup sederhana. Dalam
kesederhanaan itu, disebabkan orangtuanya yang tunakarya dan sering
sakit-sakitan, ia bahkan sering kelaparan karena tidak punya makanan sehingga
terpaksa mencari sisa-sisa makanan di rumah-rumah orang kaya bersama
teman-temannya. Maka, sejak usia 8 tahun pun ia sudah menjadi gembala upahan
hingga umur 10 tahun.
Tapi, rintangan tak luput menghambat cita-cita mulia itu. Sekali
waktu, ketika berusia 12 tahun, Nommensen mengalami kecelakaan ketika
berkejar-kejaran dengan temannya dan tertabrak kereta kuda sehingga membuat
kakinya lumpuh. Akan tetapi Tuhan berkehendak lain.
Ketika dokter yang merawatnya menganjurkan agar kakinya diamputasi,
ia menolak dan meminta agar didoakan oleh ibunya dengan syarat, jika doa itu
terkabul maka ia akan memberitakan injil kepada orang yang belum mengenal Kristus.
Tak lama kemudian doa itu terkabul, ia pun sembuh.
Pada 1853, dengan keputusan yang matang, berbekal sepatu dan pakaian
seadanya, ia pun pergi meninggalkan kampung halamannya untuk meraih cita-cita
dan janjinya itu, yang juga sempat tertunda karena gagal menjadi kolesi di
pelabuhan Wick. Ia kemudian bertemu dengan Hainsen, mantan gurunya di Boldixum.
Hainsen lalu mempekerjakannya sebagai guru pembantu di Tonderm setelah beberapa
waktu menjadi koster. Di sinilah ia bertemu dengan Pendeta Hausted dan mengungkapkan
cita-citanya itu. Ia pun melamar di Lembaga Pekabaran Injil Rhein atau RMG
Barmen.
Nommensen lalu mematangkan pengetahuannya tentang injil dengan
kuliah teologia pada 1857, ketika berusia 23 tahun. Pada masa itu, pekerjaan
sebagai tukang sapu, pekerja kebun dan juru tulis sekolah, turut disambinya,
hingga ia lulus dan ditahbiskan menjadi pendeta pada 13 Oktober1861, yang
kemudian membawanya ke Tanah Batak pada 23 Juni 1862.
Dari Norsdtrand ke Silindung
Nommensen, yang kini tetap dikenang dan dipanggil dengan gelar
kehormatan “Ompu I, Apostel Batak”, dalam perjalanan misi zendingnya bukanlah
tanpa rintangan. Bahkan, dalam beberapa kali ia pernah akan dibunuh dengan cara
menyembelih dan meracunnya. Alasannya, ia dicurigai sebagai mata-mata “si bottar
mata” (stereotip ini ditujukan kepada Belanda).
Tapi ia tidak takut sebab janjinya kepada Tuhan harus dipenuhi.
Sekali waktu ia pun berkata, ”Tidak mungkin, seujung rambut pun tidak akan bisa
diambil kalau tidak atas kehendak Allah.”
Sebelumnya, setelah resmi diutus dari RMG Barmen ia terlebih dahulu menemui Dr. H. N. Van der Tuuk, yang sebelumnya pada 1849 telah diutus oleh Lembaga Alkitab Belanda untuk mempelajari Bahasa Batak.
Sebelumnya, setelah resmi diutus dari RMG Barmen ia terlebih dahulu menemui Dr. H. N. Van der Tuuk, yang sebelumnya pada 1849 telah diutus oleh Lembaga Alkitab Belanda untuk mempelajari Bahasa Batak.
Setelah mendapatkan mendapatkan informasi lebih jauh tentang Batak,
maka pada 24 Desember 1861 ia pun berangkat dengan kapal “Partinax” menuju
Sumatra dan tiba di Padang pada 16 Mei 1862. Dari sana ia kemudian meneruskan
perjalanannya ke Barus melalui Sibolga.
Di sinilah pertama kali ia bertemu langsung dengan orang Batak
kemudian mempelajari bahasa dan adatnya. Hanya saja, ia tak lama di sana.
Selain karena sudah masukya agama Islam, ia melihat adanya nilai pluraritas
antarsuku yang sudah menyatu di sana: Toba, Angkola, Melayu, Pesisir.
Maka, setelah beberapa bulan tinggal di sana, ia pun memutuskan
untuk pergi ke daerah lain: Sipirok. Lalu, atas keputusan rapat pendeta yang
ke-2 pada 7 Oktober 1862 di Sipirok (setelah sebelumnya melayani penduduk di
Parau Sorat, dan mendirikan gereja yang pertama di sana), pergilah ia menuju
wilayah perkampungan Batak yang dikenal dengan Silindung.
Di sana, suatu kali di puncak (dolok) Siatas Barita (sekarang puncak
Taman Wisata Rohani Salib Kasih, Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara), Nommensen
pernah hendak dibunuh. Waktu itu sedang berlangsung ritual penyembahan kepada
Sombaon Siatas Barita, ialah roh alam yang disembah orang Batak. Kerbau pun
disembelih. Akan tetapi, pemimpin ritual (Sibaso) tidak menyukainya dan
menyuruh pengikutnya untuk membunuhnya.
Lalu, kata Nommensen kepada mereka, “Roh yang berbicara kepada
Sibaso bukanlah roh Siatas Barita, nenek moyangmu, melainkan roh setan. Nenek
moyangmu tidak mungkin menuntut darah salah satu keturunannya.” Sibaso jatuh
tersungkur dan mereka tidak mengganggunya lagi.
Setelah berhasil menjalin persahabatan dengan raja-raja yang paling
berpengaruh di Silindung: Raja Amandari dan Raja Pontas Lumban Tobing, maka
pada 29 Mei 1864, Nommensen mendirikan gereja di Huta Dame, sekitar Desa Sait
ni Huta, Tarutung. Kemudian atas tawaran Raja Pontas, maka turut didirikan
jemaat di Desa Pearaja, yang kini menjadi pusat gereja HKBP.
Setelah itu ia pergi ke Humbang dan tiba di Desa Huta Ginjang.
Kemudian pada 1876 ia berangkat ke Toba ditemani Pendeta Johannsen dan sampai
di Balige. Tetapi, akibat situasi yang gawat waktu itu, ketika pertempuran
antara pasukan Sisingamangaraja XII dengan pasukan Belanda sedang terjadi,
mereka pun menangguhkan perjalanan dan kembali ke Silindung.
Pada 1886 Nommensen kembali ke Toba (Laguboti dan Sigumpar), setelah
pada 1881 Pendeta Kessel dan Pendeta Pilgram tiba dan berhasil menyebarkan
injil di sana. Misi kedua pendeta ini kemudian dilanjutkan oleh Pendeta Bonn
yang telah mendapat restu dari Raja Ompu Tinggi dan Raja Oppu Timbang yang
menyediakan lahan gedung sekolah di Laguboti.
Pendeta Boon pindah dari Sigumpar ke Pangaloan dan Nommensen
menggantikan tugasnya. Sepeninggalan Boon, Nommensen mendapat rintangan di mana
sempat terjadi perdebatan sesama penduduk atas izin sebidang tanah. Setelah
akhirnya mendapat persetujuan dari penduduk, ia pun mendirikan gereja, sekolah,
balai pengobatan, lahan pertanian dan tempat tinggalnya di sana. Konsep
pembangunan satu atap ini disebut dengan “pargodungan”, yang menjadi karakter
setiap pembangunan gereja Protestan di Tanah Batak.
Dari Sigumpar, Nommensen bersama beberapa pendeta lainnya
melanjutkan zending dengan menaiki “solu” (perahu) melintasi Danau Toba yang
dikaguminya menuju Pulau Samosir. Maka, pada 1893 Pendeta J. Warneck pun tiba
di Nainggolan, 1898 Pendeta Fiise di Palipi, 1911 Pendeta Lotz di Pangururan
dan 1914 Pendeta Bregenstroth di Ambarita.
Misi zending tak berhenti sampai di sana. Nommensen lalu mengajukan
permohonan kepada RMG Barmen agar misinya diperluas hingga wilayah Simalungun.
Permohonan itu ditanggapi dengan mengutus Pendeta Simon, Pendeta Guillaume dan
Pendeta Meisel menuju Sigumpar pada 16 Maret 1903. Dari sana mereka pergi ke
Tiga Langgiung, Purba, Sibuha-buhar, Sirongit, Bangun Purba, Tanjung Morawa,
Medan, Deli Tua, Sibolangit dan Bukum. Bersama Nommensen, mereka pun melanjutkan
perjalanan melalui Purba, Raya, Pane, Dolok Saribu hingga Onan Runggu.
Zending inkulturatif
Misi Nommensen memang penuh pengorbanan. Tapi, ia tulus. Demi
misinya, ia bahkan tak sempat melihat Caroline Gutbrod, yang wafat setelah
sebelumnya jatuh sakit dan terpaksa dipulangkan ke Jerman.
Nommensen juga banyak menyisakan kenangan, yang barangkali menjadi
simbol pengorbanan dan jasanya kelak. Kenangan-kenangan itu ibarat benih, meski
sang penabur kelak telah tiada. Barangkali, Gereja Dame adalah salah satu benih
itu, yang ketika penulis berkunjung ke sana, tampak kondisiya sudah mulai usang
tapi masih berfungsi. Gereja kecil itu adalah gereja yang pertama kali
didirikannya ketika menginjakkan kakinya di daerah Silindung, Tarutung.
Lokasinya di Desa Onan Sitahuru Saitni Huta, sekitar 2 kilometer ke
arah selatan Kota Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara. Di gereja ini, Nommensen
mulai mengajar umatnya dengan teratur. Selain mengajar Alkitab (termasuk
menerjemahkan kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Batak), ia juga mengajar
pertanian serta mulai menyusun tata pelaksanaan ibadah gereja dengan teratur.
Onan Sitahuru sendiri, sekitar 1816-1817 merupakan pusat perdagangan
terbesar di Tanah Batak karena terdapat sebuah “hariara” (pohon beringin) di
sana. Menurut penuturan warga setempat, di pohon inilah Nommensen pernah akan
dipersembahkan kepada Dewa Siatas Barita, tapi ia berhasil diselamatkan
pembantunya. Pohon berusia 190 tahun itu kini masih dapat ditemui di sana.
Tercatat pula bahwa sejak tahun 1861 telah berdiri gereja-gereja
kecil (resort) di Sipirok dan Bunga Bondar atas misi zending sebelumnya.
Kemudian atas Nommensen pada 1862 di Parau Sorat, Pangaloan, Sigompulon; 1864
di Pearaja; 1867 di Pansur Napitu; 1870 di Sipoholon, Sibolga, Aek Pasir; 1875
di Simorangkir; 1876 di Bahal Batu; 1881 di Balige; 1882 di Sipahutar, Lintong
ni Huta; 1883 di Muara; 1884 di Laguboti, 1888 di Hutabarat, Sipiongot; 1890 di
Sigumpar, Narumonda, Parsambilan, Parparean; 1893 di Nainggolan; 1894 di
Silaitlait; 1897 di Simanosor Batangtoru; 1898 di Palipi; 1899 di Lumban na
Bolon, 1900 di Tampahan, Butar; 1901 di Sitorang; 1902 di Lumban Lobu,
Silamosik, Nahornop; 1903 di Paranginan, Pematang Raya; 1904 di Dolok Sanggul;
1905 di Parmonangan, Sipiak; 1906 di Parsoburan; 1907 di Pematang Siantar; 1908
di Sidikalang; 1909 di Bonan Dolok, Tukka; 1910 di Purbasaribu; 1911 di Barus;
1912 di Medan; 1914 di Ambarita dan 1922 di Jakarta.
Sekarang, benih-benih itu telah berbuah dengan lahirnya
gereja-gereja HKBP, GKPI, HKI, GKPS, GBKP dan GKPA, sebagai buah misi zending
inkulturatif, yang tidak melupakan keaslian budaya setempat dalam pelaksanaan
rutinitas ibadah. Atas jasanya itu, RMG kemudian mengangkat Nommensen menjadai
ephorus pada 1881 hingga akhir hayatnya dan digantikan oleh Pendeta Valentine
Kessel (1918-1920). Pada 6 Februari 1904, ketika genap berusia 70, Universitas
Bonn menganugerahinya gelar Doktor Honoris Causa. Namanya lalu ditabalkan untuk
dua universitas HKBP yang ada di Medan dan Pematangsiantar yang hingga saat ini
masih berdiri.
Kemudian, pada Oktober 1993 dibangun pula Kawasan Wisata Rohani
Salib Kasih (KWRSK) di puncak Siatas Barita, di mana ia pertama kali
menginjakkan kakinya di Silindung. Salib sepanjang 31 meter terpancang di sana,
seakan-akan melukiskan kisah karyanya yang agung.
Strategi penginjilan
Strategi misi yang dikembangkan Nommensen
ialah mengubah strategi penginjilan awal yang menekankan konversi perorangan dengan
mengembangkan strategi yang menekankan Konversi kelompok baik keluarga
(mencakup keseluruhan anggota keluarga sebagai satu kesatuan) maupun
keseluruhan komunitas kepada iman
Kristen. Untuk mewujudkan hal itu, Nommensen membuka pos penginjilan
(Missionsstation) baru (termasuk sekolah) dengan tujuan menjalin hubungan baik
dengan pemuka raja-raja setempat. Para raja inilah yang menentukan
berhasil atau tidaknya usaha misi karena mereka merupakan tokoh yang sangat
berpengaruh di tengah-tengah masyarakatnya.
Kematian
informasi menarik
BalasHapus